Proses budaya perusahaan menjadi toxic dapat mulai dari hal kecil. Anda mengutarakan ide saat meeting brainstorm, lalu seseorang mengejek ide itu dan membuat lelucon. Semua orang tertawa karena lucu. Anda juga ikut tertawa, namun sekarang Anda merasa takut jika ditanya pendapat. Tidak lama kemudian, tidak ada yang berani mengutarakan ide karena semua orang akan langsung mengolok-oloknya.
Di blog ini, kita selalu bicara bagaimana budaya adalah bagian yang penting dari perusahaan Anda. Tidak mudah untuk membangun budaya (culture) yang baik, dan sayangnya hanya butuh satu orang toxic untuk menghancurkannya.
Karyawan yang toxic:
- Menurunkan kinerja seluruh tim hingga 40%
- Membuat karyawan yang baik ingin keluar
- Mempengaruhi orang lain agar menjadi toxic
- Mengakibatkan hingga $50.000 kerugian
Bagaimana bisa satu orang toxic mengakibatkan dampak yang begitu besar, dan apa yang bisa kita lakukan sebagai pemimpin HR untuk mencegah ini?
Bagaimana cara budaya menjadi toxic?
Perilaku toxic ditoleransi
Mentoleransi perilaku toxic sama dengan memperbolehkannya secara pasif. Mari kembali sejenak ke contoh di awal. Ketika tindakan yang merusak (misalnya bullying) dibiarkan terjadi, pemimpin memberi sinyal bahwa tidak apa-apa untuk melakukannya.
Perilaku toxic dapat menjadi ditoleransi tanpa sengaja. Kita mungkin tidak sadar akan dampak negatif yang dapat berakar dari apa yang terlihat seperti candaan.
Yang lebih buruk adalah ketika pemimpin sadar akan ini, namun dengan sengaja memutuskan untuk membiarkan perilaku toxic karena karyawan tersebut memberi performa tinggi. Ini pemikiran yang berlawanan karena produktivitas yang diberikan oleh orang toxic tidak sebanding dengan kerugian moral dan finansial yang diakibatkan.
Hal buruk lebih kuat daripada hal baik
Pernah berpikir mengapa jauh lebih mudah mengingat pengalaman buruk daripada yang baik? Kita selalu bisa menceritakan kembali hal buruk yang dialami di kantor, tapi ketika ditanya tentang hal baik yang terjadi, kita harus berusaha mengingat.
Ternyata memang natural bahwa pengalaman negatif mempunyai dampak lebih besar di pikiran manusia daripada pengalaman positif. Insting untuk menghindari hal buruk lebih kuat daripada keinginan akan hal baik.
Inilah mengapa perilaku toxic sangat mudah tersebar di budaya perusahaan, dan mengapa sangat sulit untuk membangun dan mempertahankan nilai-nilai yang positif. Jika pemimpin tidak melakukan apa-apa, satu orang toxic cukup untuk menghancurkan budaya perusahaan.
Ketika orang toxic menjadi pemimpin
Kualitas toxic dapat diukur menggunakan Dark Tetrad, atau sisi ‘gelap’ dari kepribadian. Salah satu faktor dalam dark tetrad, Machiavellianism, adalah yang mendorong orang toxic untuk memanipulasi dan memanfaatkan orang lain untuk maju.
Pada awalnya mereka terlihat sebagai calon pemimpin yang baik menggunakan karisma, komunikasi, dan manipulasi. Setelah mencapai posisi kepemimpinan, akan mudah bagi mereka untuk menyebar perilaku toxic dan merusak budaya perusahaan Anda.
Bagaimana cara menghindarinya?
Tidak ada toleransi untuk perilaku toxic
Perilaku toxic lebih memungkinkan untuk dikendalikan saat sebelum terlambat. Ketika Anda melihat jenis candaan yang dapat berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk, segera maju dan beritahu bahwa itu tidak ditoleransi. Ketika ada yang dilapor menunjukkan kecenderungan toxic, segera urusi dan disiplinkan jika butuh.
Tulis non-toleransi akan perilaku toxic di peraturan perusahaan. Lelucon boleh saja, tapi hinaan tidak memiliki tempat di lingkungan kerja. Buktikan bahwa Anda serius tentang membangun dan memelihara budaya yang positif untuk semua talent.
Waktunya melepas
Terkadang orang yang toxic tidak mau berubah walaupun dihadapi, diberi pelatihan, atau bahkan didisplin. Inilah waktunya untuk membuat keputusan besar dan memutuskan hubungan.
Menyimpan orang yang toxic walaupun memberi performa tinggi tidak akan membawa keuntungan apapun. Sebuah studi oleh Harvard Business School menemukan bahwa menghindari orang toxic ternyata lebih menguntungkan daripada merekrut top talent.
Jangan merekrut orang toxic
Cara termudah untuk menghadapi karyawan toxic adalah dengan tidak merekrut mereka dari awal. Dengan proses seleksi yang baik, Anda dapat mendeteksi jika kandidat memiliki kecenderungan toxic atau menjadi problematic.
Inilah gunanya asesmen kepribadian. Orang yang manipulatif dapat dengan mudah berbohong di interview, tapi tes psikometri dapat memberitahu semuanya tentang psikologi seorang kandidat: jika kepribadian cocok dengan budaya perusahaan, atau jika berisiko merusak budaya tersebut.
Dengan asesmen yang terbukti secara ilmiah di Dreamtalent, Anda dapat mendeteksi kandidat toxic dari awal dan menghindari membawa risiko tersebut ke dalam budaya perusahaan Anda.