Budaya Flexing: Kamu Lebih Berharga dari Gajimu
Pengembangan Diri | 30 Mar 2022 | By Yehezkiel Faoma Taslim
Budaya Flexing: Kamu Lebih Berharga dari Gajimu

Summary. Budaya flexing sudah menjadi hal yang sering dijumpai, baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang menjadikan hal ini sebagai tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan. Tetapi, tidak semua hal bisa diukur dari berapa banyak barang mewah yang kamu beli, atau seberapa sering kamu makan di restoran mewah dalam sebulan.

Expectations. Setelah membaca artikel ini, kamu akan mengetahui apakah flexing culture adalah sesuatu yang baik untukmu, atau sebaliknya.

 

Pasti banyak dari kamu sudah sering mendengarkan kata “flex culture” atau “flexing culture”, kan? Mungkin kamu juga sering melihat post di media sosial yang berisi foto orang-orang sedang liburan mewah atau memakai barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hari demi hari, orang-orang mulai berlomba-lomba bahwa mereka juga bisa hidup dalam lifestyle seperti itu tanpa beban.

Tapi, Apa Sebenarnya Flexing Culture?

Singkatnya, flex culture adalah hal yang seseorang lakukan agar selalu terlihat menggunakan barang yang dianggap mewah untuk menunjukkan pada orang lain bahwa orang tersebut mampu membeli dan mendapatkannya. Memakai serangkaian barang mewah dipercaya bahwa mereka bisa mendapatkan kesan kalau mereka datang dari kalangan masyarakat tingkat atas.

Dengan kata lain, semakin banyak barang mewah yang dibeli, semakin tinggi status yang dimiliki orang tersebut.

Dari pakaian, make up, hingga kendaraan branded, banyak orang yang berlomba dan mengusahakan segala cara untuk mendapatkan hal tersebut. Padahal, merk tidak selalu berarti dengan kualitas yang bagus. Hal ini dikarenakan oleh citra dari brand yang dipakai memiliki kesan mewah dan mahal. 

 

Lalu, apakah self-esteem kamu hanya dinilai berdasarkan barang dari brand apa saja yang kamu bisa beli?

 

Meskipun begitu, pandangan masyarakat perihal hal ini mulai berubah. Membeli barang dengan brand tertentu bisa menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Menurut Fay Weldon, keinginan untuk mengekspresikan diri sendiri bisa menyakiti seseorang saat mereka merasa bahwa ada suatu hal dari diri mereka yang tidak tersampaikan kepada dunia luar.

Tetapi, apakah tren “budaya flexing” ini bisa menjadi salah satu cara yang sehat dalam mengekspresikan diri sendiri? Tanyakan lagi kepada diri kamu sendiri, apakah kamu melakukan hal ini karena kamu perlu membuktikan sesuatu? Jika iya, kepada siapa?

Apa yang Bisa Kamu Dapatkan dari Flexing?

Dijauhi Teman Baru

Dua orang sedang bercengkrama dalam sebuah acara tanpa melakukan flexing

Penelitian yang diterbitkan di Social Psychology and Personality Science menunjukkan bahwa 66% orang memiliki tendensi untuk memilih mobil mewah daripada mobil biasa. Tetapi, saat diminta untuk memilih teman baru, orang-orang lebih memilih berteman dengan orang yang bermobil biasa daripada yang mewah.

Hal ini juga terjadi dengan sekumpulan orang yang sedang berkumpul di sebuah acara atau kegiatan bersama. Bedanya, hal yang dijadikan bahan eksperimen adalah jam tangan. Penelitian di atas menyimpulkan bahwa orang-orang lebih memilih untuk berteman dengan seseorang yang memakai jam yang lebih generik dibandingkan dengan orang yang memakai jam tangan mewah.

Para pakar psikolog menjelaskan bahwa efek ini disebabkan oleh keinginan seseorang untuk berpenampilan lebih baik daripada orang lain. Akan tetapi, saat memilih untuk memakai barang mewah, orang tersebut tidak memikirkan perspektif orang lain yang akan dijadikan teman.

Kehilangan Self-Esteem

Dua orang sedang selfie untuk diunggah ke sosial media sebagai salah satu cara flexing terselubung

Saat kamu berpartisipasi dalam flexing culture di media sosial, secara tidak sadar apa yang kamu lakukan akan berubah menjadi ajang untuk mencari validasi di platform tersebut. Media sosial bisa saja menunjukkan hal-hal mewah melalui layar. Tetapi sebagai pengamat, kamu tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di balik layar.

Flexing culture sudah menjadi hal yang esensial di media sosial, dan efek psikologis yang dimiliki telah mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Meskipun hal ini tidak lebih dari strategi marketing dari brand mewah, banyaknya konten tentang flexing menjadi tujuan hidup dan tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan oleh banyak orang.

Mengancam Keamanan Data Pribadi

Seseorang membayar hal yang dibeli dengan black card sebagai bentuk flexing bahwa dia tergolong di masyarakat sosio-ekonomi menengah keatas

Mungkin menunjukkan barang dan keberhasilan yang kamu miliki di media sosial terlihat menyenangkan, atau mungkin juga kamu ingin membuktikan kepada orang lain bahwa kamu sudah sukses dan memiliki segalanya. Tetapi, lakukanlah dengan berhati-hati.

Menunjukkan pada semua orang bahwa kamu memiliki black credit card atau mungkin platinum credit card bisa memberikan kesan bahwa kamu tergabung dalam masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi menengah ke atas. Tetapi, hal ini juga bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan. Contohnya, jika kamu memamerkan mobil mewah yang kamu baru saja beli tanpa menutup plat nomor mobil, bisa saja data pribadi kamu dilacak melalui nomor plat tersebut.

Menjadi Awal dari Konsumerisme

Seseorang sedang memegang kartu kredit dan dikelilingi oleh belanjaan yang dimiliki sebagai bukti bahwa dia dapat membeli banyak barang untuk berpartisipasi dalam budaya flexing.

Konsumerisme didefinisikan sebagai pemahaman bahwa mengkonsumsi barang atau menggunakan jasa yang tersedia di pasar merupakan hal yang bisa menjadi tolak ukur kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Jika dikaitkan dengan budaya flexing, perilaku konsumerisme akan membuat kamu terus-menerus menggunakan gaji yang kamu dapatkan untuk membeli barang atau menggunakan jasa mewah yang tersedia di pasar sebagai tolak ukur keberhasilan dan kekayaan kamu.

Bertanyalah kepada diri sendiri, apakah kamu ingin menghabiskan apa yang kamu sudah kamu dapatkan tiap bulan dengan cara seperti ini? Jika iya, mengapa?

Bagaimana Kamu Ingin Dunia Melihatmu?

Tidak semua orang yang berpartisipasi dalam flex culture ini benar-benar menggambarkan kondisi mereka di kehidupan nyata. Meskipun begitu, media sosial bisa memberikan gambaran pada orang lain tentang dirimu. Apakah berpartisipasi dalam flexing culture ini bisa memberikan kamu image yang lebih baik pada orang lain?

Yuk, mulai bertanya pertanyaan yang lebih bermakna untuk kamu. Seperti apa image yang sesuai dengan kepribadianmu? Dan bagaimana kamu bisa mengembangkan diri agar kebahagiaan yang kamu rasakan bukan sekedar apa yang kamu tampilkan di media sosial?