Summary. Hustle Culture yang marak di lingkungan karyawan tidak hanya menjadi momok bagi kehidupan pribadi karyawan, namun juga bagi HR yang dapat mengalami dampak besar dari budaya ini. Hal yang dapat HR lakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan mempromosikan waktu istirahat, menerapkan jam kerja, menciptakan budaya resilience, menciptakan ruang aman bagi karyawan, dan membentuk lingkungan positif untuk hasil kerja produktif.
Expectations. Setelah membaca artikel ini, Anda sebagai HR dapat memperkuat perusahaan dengan menghindari karyawan yang menerapkan hustle culture dalam kinerja mereka dan membuat karyawan perusahaan Anda jauh lebih produktif dengan pekerjaan yang terfokus.
Hustle Culture yang sedang marak di kalangan karyawan muda akhir-akhir ini merupakan salah satu budaya kerja yang mengglorifikasi kesibukan sebagai hal yang meningkatkan prestige dan harga diri. Namun, dibalik itu semua, hustle culture juga membawa dampak yang cukup besar bagi kedua pihak.
Mungkin Anda sudah cukup sering mendengar dan membaca dampak negatif dari hustle culture itu sendiri. Contohnya membentuk toxic productivity yang justru membuat karyawan tidak fokus dalam pekerjaannya. Pasalnya, korban dari hustle culture tidak hanya terfokus kepada individu, namun juga perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja.
Sebagai HR, Anda memiliki tanggung jawab untuk memastikan karyawan perusahaan Anda tetap produktif dan dapat memberikan kinerja terbaiknya untuk perusahaan. Oleh karena itu, ada hal-hal yang dapat Anda lakukan ketika menghadapi karyawan yang terjebak dalam pola hidup hustle culture.
Promosikan Waktu Istirahat
Mempromosikan waktu istirahat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.
Demi menciptakan lingkungan yang lebih produktif dan ramah terhadap karyawannya, HR dapat melakukan promosi untuk karyawan memanfaatkan jam istirahat mereka dengan baik. Dengan menggunakan jam yang telah ditentukan kantor, HR dapat membantu mereka untuk berhenti bekerja dan menikmati waktu istirahat tanpa harus berkutat dengan pekerjaan yang belum selesai.
Dilansir oleh BBC, penting untuk employers memberikan waktu istirahat bagi karyawan mereka. Hal ini tidak hanya membantu mereka untuk memiliki me-time jauh dari hubungan kantor, namun juga membentuk budaya kantor yang lebih ramah terhadap karyawan, dan meningkatkan kualitas kerja. Lagipula, siapa yang tidak mau bila diberikan waktu lebih untuk staycation? Tidak ada karyawan yang ingin diganggu bila mereka sedang asyik menonton Batman, bukan?
Tetapkan Jam Kerja yang Konsisten
Jam kerja yang disusun sewajarnya dapat meningkatkan produktivitas karyawan dan menghindari potensi hustle culture.
Beberapa kantor memiliki jam kerja yang ditetapkan untuk karyawan mereka melakukan kerja produktif. Jam kerja sewajarnya dilaksanakan kurang lebih sebanyak tidak lebih dari 40 jam dalam seminggu. Disini, HR dapat menegaskan bahwa setiap pekerjaan kantor sebaiknya dikerjakan hanya pada jam-jam tersebut.
Karyawan sebaiknya tidak didorong untuk melaksanakan kerja di luar jam kerja, khususnya memberikan tugas dadakan. Jangan sampai ada karyawan yang terbangun jam 3 pagi menerima email dari atasan yang menyuruh mereka untuk mengerjakan tugas dengan deadline jam 7 pagi. Waduh, siapa yang tidak kesal dengan aturan seperti ini?
Dengan menerapkan budaya yang lebih sehat, membiarkan karyawan mengerjakan tugas sesuai dengan jam yang ditentukan, karyawan akan lebih menghargai waktu istirahat mereka dan menikmati jam diluar jam kerja untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat dan kehidupan pribadi mereka. Email jam 10 malam? Lewat dulu ya, bos.
Ciptakan Budaya Resilience
Resilience atau disebut juga dengan ketahanan adalah salah satu trik yang dapat dimanfaatkan oleh HR untuk mempertahankan karyawan di kantor. Bukan, bukan berarti HR harus menarik karyawan kuat-kuat dan membuat mereka seperti masuk dalam kerangkeng.
HR dapat selalu memberikan mereka motivasi seperti mengingatkan alasan mereka untuk bertahan di perusahaan Anda. Selain itu, tekankan hal-hal seperti makna pekerjaan yang dilakukan dan kontribusi apa yang telah diberikan dengan melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini akan senantiasa memotivasi karyawan untuk bertahan di perusahaan dan membuat mereka mengerjakan pekerjaan dengan passion yang lebih tinggi.
Selain itu, budaya resilience ini juga tidak hanya memperkuat internal karyawan, namun juga eksternal. Dengan mereka memahami passion mereka di dalam dunia kerja, hal ini akan mempengaruhi bagaimana mereka meningkatkan koneksi mereka dengan orang lain dan bahkan dapat menjadi efek domino untuk memotivasi karyawan lain supaya produktif bersama.
HR Sebagai Ruang Aman Karyawan
Bekerja tidak selalu tentang hal-hal yang bahagia. Ada saatnya karyawan-karyawan Anda akan menghadapi masa ‘sambat’. Kenapa ya kok kerjaan aku nggak kelar-kelar, atau kenapa ya kok susah banget kerjasama dengan karyawan B. Kondisi seperti ini tidak selamanya bisa diutarakan apabila karyawan tidak memiliki safe space atau ruang aman di kantor tempat mereka bekerja.
Sebagai HR, Anda harus dapat membuat ruang aman bagi mereka untuk membuka diri mereka dalam lingkungan pekerjaan. Hal ini akan mendorong mereka untuk tidak hanya lebih terbuka, namun juga membantu Anda untuk mengatasi hal-hal yang selama ini membebani karyawan, bahkan memberikan solusi yang dapat membantu mereka kedepannya.
Jangan sampai ada karyawan yang hanya bisa memendam perasaan. Pekerjaan memang tidak bisa disamakan dengan urusan percintaan yang masih bisa jadi secret admirer, kan?
Lingkungan Positif untuk Kerja Produktif
Lingkungan positif yang memberikan karyawan pengakuan atas kinerja mereka dapat menciptakan kepribadian yang seimbang untuk lingkungan kerja dan lingkungan pribadi karyawan. Tindakan-tindakan kecil seperti pujian dapat menjadi salah satu yang memotivasi karyawan untuk lebih berinovasi dalam kerjanya.
Salah satu cara untuk menghindari hustle culture adalah bagaimana HR dapat memberikan reward kepada hasil kinerja mereka dengan pujian dan feedback positif. Kinerja ini bukan terbatas kepada hasil kerja saja, namun juga karyawan yang menaati jam kerja, menggunakan jam istirahat mereka dengan baik. Dengan begitu, mereka melihat budaya kantor bahwa orang yang menghargai work life balance lebih dipandang dibandingkan mereka yang memaksakan diri untuk bekerja.
Pahami Kepribadian Karyawan
Tentu saja setiap karyawan memiliki kepribadian mereka masing-masing dan solusi ini tidak dapat digeneralisasikan begitu saja. Sebagai HR, Anda perlu untuk memahami coping mechanism karyawan Anda. Tidak perlu lagi khawatir berkutat dengan kesulitan menganalisis satu persatu, karena dengan adanya Tes Psikometri, anda dapat mengetahui kepribadian karyawan Anda dengan lebih cepat.
Dreamtalent menawarkan asesmen psikometri dengan tingkat akurasi hingga 90% yang dapat memudahkan Anda memahami kepribadian karyawan Anda dengan cepat, efektif, dan efisien. Melalui hasil asesmen tersebut, Anda akan dimudahkan untuk menganalisa bahkan memberikan solusi untuk problematika hustle culture yang Anda alami dengan karyawan Anda.