Quiet Quitting: Melawan Budaya Toxic
Tempat Kerja | 05 Oct 2022 | By Yehezkiel Faoma Taslim
Quiet Quitting: Melawan Budaya Toxic

Summary. Quiet quitting muncul sebagai sebuah gagasan untuk menolak budaya kerja yang memberikan dampak negatif kepada karyawan seperti depresi dan burnout. Tujuan dari cara kerja ini adalah menciptakan work-life balance yang seimbang pada karyawan. Walaupun begitu, tindakan yang berlebihan dapat mempengaruhi citra kamu di mata perusahaan dan karier kedepannya.

Expectations. Setelah membaca artikel ini, kamu dapat mengetahui apa itu quiet quitting dan mengapa dapat terjadi



Beberapa waktu kebelakang ini terdapat salah satu tren kerja yang sedang populer di berbagai sosial media khususnya TikTok. Apakah itu?

Tren kerja ini dikenal dengan sebutan quiet quitting. Tren ini muncul di tengah-tengah lingkungan kerja yang mayoritas sudah diisi oleh angkatan kerja Millenials dan Gen Z

Lalu, apa itu quiet quitting? Dan kenapa fenomena tren kerja ini muncul saat ini?

Pengertian quiet quitting

Quiet quitting adalah tren kerja yang berkaitan dengan prinsip dimana harus dapat melampaui ekspektasi dari deskripsi pekerjaan yang mereka sepakati.

Quiet quitting singkatnya merupakan sebuah gagasan untuk menolak bahwa pekerja atau karyawan harus dapat melampaui ekspektasi dari apa yang dituntut pada deskripsi pekerjaan yang mereka sepakati. 

Lebih lanjut, menurut Guardian, quiet quitting merupakan sebuah tren yang berkaitan dengan prinsip kerja dan berkembang pada era anak muda saat ini. Menggambarkan prinsip di mana pekerja memberikan performa kerja sesuai dengan porsinya.

Berdasarkan kedua pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa tren quiet quitting berlawanan dengan konsep hustle culture yang mendorong karyawan untuk bekerja di luar tanggung jawab kerjanya secara berlebihan.

Tujuan dari quiet quitting secara umum berkaitan dengan mental kesehatan pekerja, di mana menciptakan gaya hidup kerja yang seimbang (work-life balance) agar dapat menjauhkan diri dari rasa burnout dan depresi dalam bekerja.. 

Walaupun begitu, menjadi pekerja yang menerapkan prinsip quiet quitting juga bukanlah hal yang baik. Pasalnya prinsip ini banyak disalahgunakan oleh pekerja menjadi “melakukan suatu pekerjaan pada batas minimum pekerjaan tertentu” dan mengurangi rasa antusiasme mereka dalam mencapai hasil performa yang baik.

Padahal, jika tujuan quiet quitting ini dapat diterapkan dengan baik, akan sangat membantu pekerja mendapatkan pola kualitas kerja yang ideal, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya secara lebih positif daripada memberikan beban kerja yang berlebihan. 

Melawan budaya yang toxic

Quite quitting muncul sebagai bentuk untuk menghindar dari budaya kerja yang toxic dimana memberikan beban kerja berlebih juga minimnya apresiasi yang diberikan.

Pada dasarnya tren ini berkembang untuk menghindar dari budaya kerja yang toxic di mana memberikan beban kerja yang berlebihan pada karyawan. Hal ini juga diperparah dengan minimnya apresiasi dan pengakuan yang diberikan pada lingkungan kerja dan merasa karyawan tidak dihargai dengan baik.

Selain kedua faktor utama tersebut, terdapat beberapa alasan lain mengapa muncul fenomena quiet quitting, antara lain:

  1. Karyawan merasa tidak mendapat waktu luang yang cukup untuk beristirahat

  2. Karyawan takut mendapat pekerjaan tambahan karena memperlihatkan performa yang baik

  3. Tingkat kesehatan mental karyawan yang terganggu seperti tingkat stress, anxiety, atau depresi yang tinggi

  4. Tidak adanya ruang untuk berekspresi

  5. Komunikasi dan sistem manajemen perusahaan yang buruk

Fenomena quiet firing

Quiet firing merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dengan maksud secara tersembunyi agar mereka mengajukan pengunduran diri.

Jika kemunculan tren kerja quiet quitting dilakukan oleh karyawan, di sisi lain terdapat fenomena lainnya muncul dari manajemen perusahaan. Fenomena itu disebut dengan quiet firing

Quiet firing merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dengan maksud secara tersembunyi untuk memberhentikan karyawannya. Tindakan-tindakan tersebut seperti tidak memberi feedback yang membangun, upah yang sesuai dengan performa kerja, serta kesempatan promosi kerja. 

Tindakan ini dilakukan untuk memperlihatkan secara tersirat bahwa perusahaan sudah tidak menginginkan keberadaan mereka sehingga berharap mereka mengajukan pengunduran diri. Sedikit berbeda dengan quiet quitting, quiet firing sudah ada jauh sebelum tren kerja ini muncul.

Bisa dikatakan bahwa quiet firing muncul sebagai dampak negatif dari tindakan karyawan yang melakukan tindakan quiet quitting secara berlebihan. Kenapa? Karena tren ini dapat mengganggu produktivitas rekan kerja lain sebagai tim juga perusahaan secara lebih besar. 

Maka dari itu, ada baiknya jika kamu merasa terdapat beberapa keluhan yang berkaitan dengan tempat kerja kamu seperti beban kerja yang berlebih atau tidak memberikan apresiasi yang sesuai. Pastikan untuk mendahulukan komunikasi terbuka sehingga semua masalah dapat terselesaikan secara bersama.

Temukan culture fit kamu

Saat ini menemukan budaya kerja yang cocok merupakan salah satu aspek yang harus kamu perhatikan dengan lebih baik, sehingga kamu merasa nyaman ketika bekerja nantinya. 

Ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan agar dapat mengetahui budaya kerja tersebut, antara lain dengan riset melalui profil perusahaan di media sosial seperti LinkedIn, atau dengan pertanyaan pada saat sesi interview dengan HR perusahaannya.

Selain kedua cara tersebut, kamu juga bisa mengetahui kecocokan antara kamu dengan budaya perusahaan melalui tes psikometri di Dreamtalent dan perusahaan-perusahaan apa yang cocok dengan karakter dan kepribadian kamu. Hal ini agar kamu mendapatkan gaya hidup kerja yang work-life balance serta kesehatan mental yang baik dan terhindar dari tindakan quiet quitting berlebihan yang dapat memberikan dampak negatif kepada kamu dan perusahaan tempat kamu bekerja.